Tuntutan Saat Pandemi, Menjadi Ibu, Guru dan Teman

2
header-img
  • Kondisi stres menyebabkan beberapa dampak terhadap si ibu terutama terhadap tubuh, mood dan perilaku.
  • Permasalahan kesehatan mental ibu terjadi akibat ketidakseimbangan apa yang seharusnya ia butuhkan dengan tuntutan.

noDokter – Di Masa pandemi Covid-19 tugas menjadi ibu sangat penting. Tak jarang karena kondisi dan tuntutan yang begitu besar, kaum ibu mengalami burn out atau stres. Bagaimana cara mengatasinya?

Menurut psikolog Maria Dwindita, M.Psi, pandemi telah berdampak pada semua kalangan terutama terhadap kesehatan mental. Banyak masalah kesehatan mental muncul seperti kehilangan anggota keluarga, prosedur karantina atau isoman juga stres. Ada juga orang yang kehilangan pekerjaan atau pendapatan menurun.

“Stres di masa pandemi ini, hampir semua lapisan masyarakat merasakannya. Terutama kepada kaum ibu,” ujar Maria Dwindita, pada webinar yang digelar platform kesehatan noDokter, Sabtu (11/9/2021).

Webinar bertema ‘Being a Working Mom a Teacher and a Friend During the Pandemic’ ini dipandu moderator Co Founder noDokter Ariel Aldrin. Webinar ini juga terkait dengan Women’s Equality Day dan Youth Mental Health Day.

Maria Dwindita, M.Psi,

Menurut psikolog jebolan Universitas Indonesia ini, kaum ibu sangat rentan terkena masalah kesehatan mental. Hal ini terkait dengan beragam peran dan tuntutan yang harus ia jalani. Misalnya tuntutan pekerjaan, tuntutan keluarga, tuntutan dari sekolah anak, hingga tuntutan dari diri sendiri.

“Akhirnya menjadi burn out. Akibatnya si ibu menjadi menarik diri, demotivasi, merasa muak pada satu atau lebih peran yang ia miliki serta mengalami stres,” katanya.

Kondisi stres menyebabkan beberapa dampak terhadap si ibu. Terutama terhadap tubuh, mood dan perilaku. Pada tubuh, pengaruhnya biasanya si ibu mengalami sakit kepala, tegang atau nyeri otot, serta rasa sesak di dada. Juga mengalami kelelahan, masalah tidur hingga sakit perut atau maag. “Sementara pengaruhnya pada mood adalah rasa cemas, gelisah, demotivasi, merasa kewalahan, mudah marah dan sedih atau depresi,” katanya.

Sedangkan pengaruhnya kepada perilaku adalah seringkali bertindak ekstrim gara-gara kondisi rumah saat pandemi. Misalnya terlalu banyak makan atau sebaliknya tidak mau makan, ledakan kemarahan, penyalahgunaan obat atau alkohol, penggunaan rokok berlebih dan menarik diri dari lingkungan sosial.

“Pada awalnya mungkin pengaruhnya kecil, tapi kalau dibiarkan dan tidak ditangani akan menjadi masalah yang besar,” tambah Clinical Psychologist di Rumah Sakit Murni Teguh Sudirman Jakarta itu.

Ketikdakseimbangan Kebutuhan dan Tuntutan

Menurutnya, permasalahan kesehatan mental ibu sebenarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara apa yang seharusnya seorang ibu butuhkan dengan tuntutan. Misalnya seorang ibu butuh self care dan me time. Sementara tuntutannya sangat banyak seperti tanggung jawab pekerjaan, tanggung jawab sebagai ibu dan tanggung jawab lainnya. “Karena itu butuh beberapa strategi agar peran ibu menjadi seimbang,” timpalnya.

Ia menyarankan beberapa hal yang bisa seorang ibu lakukan untuk mengatasi persoalan ini. Misalnya dengan membagi tugas pekerjaan rumah tangga. Hal ini mengingat pekerjaan rumah tangga itu bukan hanya urusan ibu saja tetapi juga pasangannnya. Suami juga punya tugas yang sama untuk menjaga anak, memasak, mengurus rumah dan lainnya. “Bicarakan dengan kedua belah pihak. Kalau keduanya bergantian tugas dan berkolaborasi tentunya bisa mengurangi smpai 50 persen tugas ibu,” imbuhnya lagi.

Yang juga bisa meringankan beban ibu adalah melibatkan anak untuk melakukan tugas-tugasnya sendiri atau membantu orang tua. Melibatkan anak sesuai dengan kemampuan usianya justru bisa melatih kemandirian anak. Misalnya anak usia 4 tahun diajak memasak untuk membantu memetik daun bayam. Itu hal sederhana tapi dari aktivitas itu anak belajar darimana makanan itu berasal, bagaimana proses memasaknya dan melatih anak.

Ia juga menyarankan dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan mental, untuk mengelola fokus. Fokus pada tugas, pada aktivitas yang ada di hadapan kita. Fokus lainnya adalah kita diajak untuk memiliki sudut pandang yang positif. Berfikir positif. Misalnya situasi yang sama, working from home (WFH). Muncul pikiran ‘aduh tidak bekerja dengan tenang, karena harus mikiran kerjaan di rumah, anak atau lainnya’. Artinya pikiran kita jadi negative.

Tetapi kalau kemudian fokusnya berubah justru dengan kondisi WFH ini, bisa memiliki quality time dengan anak. Dari yang tidak dekat menjadi hubungan yang lebih dekat. “Ini bagaimana kita berfikir positif,” tambahnya.

Ia mengingatkan pikiran bisa mempengaruhi emosi dan perilaku. Kalau kita ingin agar emosi terkendali berarti yang harus kita kontrol adalah pikiran. Selalu ada poin positif dan negatif dari setiap masalah, tinggal kita mengambil yang positifnya saja. Kalau poin negatif itu tidak menyelesaikan masalah buat apa kita berpikiran negatif. [*]


Apakah artikel ini membantu anda?

Kami menggunakan cookie untuk memastikan bahwa kami memberikan pengalaman terbaik untuk Anda.
Jika Anda terus menggunakan situs ini, kami akan menganggap Anda menyukai website ini.