Psikologi Bu Tejo Si Ratu Gosip

7
header-img
  • Pada dasarnya manusia memiliki sifat menggunjingkan orang lain.
  • Ada respon otak yang membuat orang terpicu untuk menggosip.

WWW.NODOKTER.COM – Seteleh menonton film Tilik, semua orang sepakat terkesima oleh tingkah laku tokoh Bu Tejo (dimainkan oleh Siti Fauziah dengan sangat apik dan berkarakter). Film pendek buatan Ravacana Film Yogya yang berdurasi hanya 32 menit ini selama dua pekan di YouTube sudah ditonton oleh lebih dari 19 juta pasang mata.

Tingkah laku penggosip, egois dan menghalalkan segala cara adalah beberapa dari kondisi psikologi manusia yang ditampilkan oleh Bu Tejo.

Perilaku psikologi seperti ini tampaknya sangat umum di masyarakat. Dalam berbagai telahaan menggosip adalah sebuah kegiatan lumrah yang dilakukan manusia.

Majalah Time melansir sebuah studi observasi yang pernah dilakukan pada 1993, yang menyebutkan bahwa pria menghabiskan waktunya sebanyak 55 persen untuk bergunjung. Sementara kaum perempuan lebih tinggi, yaitu sebanyak 67 persen.

Studi lain yang diumumkan pada 2019 di jurnal Social Psychological and Personality Science, dari sebanyak 467 responden mengaku rata-rata menghabiskan waktu 52 menit untuk bergosip. Namun tema gosip yang dikemukakan masih bersifat netral.

Sedangkan yang bersifat positif adalah yang terkecil, yakni 9 persen saja. Lantas berapa yang doyan gosip negatif? Ada 15 persen.

Menggosip merupakan efek dari kerja psikis dan fisik manusia

Dan, Bu Tejo tampaknya termasuk ke dalam 15 persen ini. Dengan kata lain sesungguhnya di antara kita ada sebagian kecil orang yang sangat menyukai gosip miring. Miring bisa berarti merupakan hal-hal yang memang negatif atau yang tidak cukup bukti sehingga menimbulkan kesan negatif.

Mengapa orang menyukai gosip negatif?

Dalam pendekatan ilmu fisiologi, pada sebuah studi tahun 2015 yang diterbitkan oleh Social Neuroscience, para ilmuwan mengamati pencitraan otak pria dan wanita saat mereka mendengar gosip positif dan negatif tentang diri mereka sendiri, sahabat, dan selebriti. Orang yang mendengar gosip - baik dan buruk - tentang diri mereka sendiri, serta gosip negatif secara umum, menunjukkan lebih banyak aktivitas di korteks prefrontal otak mereka, yang merupakan kunci kemampuan kita untuk menavigasi perilaku sosial yang kompleks.

Artinya orang mudah terpicu oleh sebuah gosip, entah lurus atau miring. Dan kemudian gosip dicerna sesuai dengan kemampuan dan wawasannya.

Namun jika gosip tersebut cenderung negatif, maka kerja caudate nucleus pada otak semakin aktif dan responsif. Tahu apa yang ditimbulkannya? Tak lain kegembiraan, terhibur. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi jika mendengar gosip positif yang berkaitan dengan dirinya.

Lantas, mengapa orang bisa menjadi tukang gosip?

Dalam tinjuan psikologi budaya dan sosial, setidaknya ada tiga pemicu, antara lain;

MENGUSIR KEBOSANAN

Orang-orang seperti bu Tejo memiliki latar sebagai orang yang cepat bosan. Pada situasi tertentu ia ingin berpindah dari satu hal ke hal lain untuk mengusir kebosanannya. Lihat saja bagaimana topik yang diucapkan dalam satu perjalanan bisa meliputi berbagai hal. Ia menciptakan situasi itu agar tak mengalami kejenuhan.

MENGINDARI KESENDIRIAN

Ini adalah cara yang gampang untuk melepaskan diri dari kesunyian, kesepian dan kesendirian. Ia ingin selalu berada dalam komunitas. Ketika berada dalam komunitas ia tak boleh diam, karena ingin melepaskan diri dari kesepiannya. Maka, ia memilih berbagai topik. Gosip adalah salah satu cara pelepasan itu. Seperti disebut di atas, gosip negatif selalu menyenangkan dan menghibur.

MENJAGA KEDEKATAN

Istilahnya intimacy, seseorang penyuka gosip secara psikologis sering menjadi lead, membuka percakapan untuk memulai pembicaraan. Ia melakukan itu karena ingin menjaga kedekatan antaranggota komunitasnya. Maka, tema yang ia sodorkan umumnya yang memberi penghiburan.

Bagi penggosip sendiri semakin ia sering menawarkan gosip (terutama negatif) tidak saja berhadapan dengan orang-orang yang berseberangan atau tidak suka. Tetapi juga bisa membawa dirinya pada perilaku psikologi yang merugikan, seperti depresi hingga menjadi pribadi yang tidak realistis, dan selalu dipenuhi dengan negative thinking. (*)


Apakah artikel ini membantu anda?

Kami menggunakan cookie untuk memastikan bahwa kami memberikan pengalaman terbaik untuk Anda.
Jika Anda terus menggunakan situs ini, kami akan menganggap Anda menyukai website ini.