Efikasi Vaksin Sebesar 65,3 Persen, Apa Artinya?

1
header-img
  • Vaksin Sinovac  telah mendapatkan pernyataan aman dan memiliki efikasi 65,3 persen.
  • Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.

WWW.NODOKTER.COM-- Saat yang penantian pun tiba, yaitu pengumuman hasil uji klinik (interim report) vaksin Sinovac, sekaligus pemberian izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization = EUA) kepada PT Bio Farma sebagai pengusung vaksin ini di Indonesia. Bagaimana dengan efikasi vaksin ini?

Paling tidak sebagian besar pertanyaan telah terjawab mengenai efikasi dan keamanannya. Vaksin Sinovac memiliki efikasi 65,3 persen, dan dari segi keamanan terbukti aman. Kekuatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak beredar di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang, tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, Turki dan Brazil.

Tapi kemudian banyak orang bertanya, kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil ya? Atau lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna?

Prof Dr Zullies Ikawati, Apt, ahli epidemiologi yang banyak menyebar literasi soal Covid-19

Bagaimana cara menghitung persentase efikasi?

Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang tervaksinasi, berbanding kelompok yang tanpa vaksinasi (atau plasebo). Itu hasil dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol.

Jadi, misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong). Jika dari kelompok tervaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25 persen), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9,4 persen), efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65,3 persen.

Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok tervaksin dengan kelompok yang tidak.

Efikasi ini dapat terjadi karena berbagai faktor. Misal dari tingkat risiko infeksi tempat uji,  karakteristik subyek ujinya, pola kesehatan masyarakat, dll. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.

Jadi misalnya, pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya menjadi 78,3 persen.

Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil. Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan antara klompk placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah.

Katakanlah, misal, pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi COVID (3,25 persen)  sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5 persen) karena menjaga prokes dengan ketat. Maka efikasi vaksin bisa menjadi hanya 35 persen, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35 persen. Dan mungkin juga ada factor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap hasil uji kliniknya.

Apakah efikasi sebesar itu dapat berdampak signifikan?

Penurunan kejadian infeksi sebesar 65 persen secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang. Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta  yang bisa terinfeksi.

Maka jika program vaksinasi berhasil hanya ada 3 juta  penduduk yang terinfeksi. Angka 65 persen berdasarkan hitungan  (0.086 – 0.03)/0.086 x 100% = 65 persen.

Jadi ada 5,6 juta kejadian infeksi yang dapat tercegah. Mencegah 5 juta kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa ini terlalu optimistik. Ya…hidup memang harus optimistis dan berpikir positif, dengan tetap berupaya dan menyiapkan diri dengan skenario apa pun.

Jadi, saya pribadi masih menaruh harapan kepada vaksinasi. Semoga bisa mengurangi angka kejadian infeksi COVID di negara kita. Apalagi jika terdorong dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik, semoga dapat menuju pada pengakhiran pandemi COVID.

A good start

Ketika pengumuman hasil efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen, mungkin ada yang kecewa. Mengapa kok rendah? Tapi menurut saya, it is a good start. Apalagi batasan minimal FDA, WHO dan EMA pun untuk persetujuan suatu vaksin adalah 50 persen.

Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50 persen itu sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang. Apalagi terbukti bahwa vaksin memiliki imunogenisitas yang tinggi mencapai 99-an persen,  yang berarti dapat memicu antibody pada subyek yang mendapat vaksin.

Kita akan menunggu efektivitas vaksin setelah pemakaian di masyarakat. Dan perlu kita ingat bahwa karena ini baru EUA yang berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap terkontrol sampai enam bulan ke depan untuk mendapatkan full approval. (*)


Apakah artikel ini membantu anda?

Kami menggunakan cookie untuk memastikan bahwa kami memberikan pengalaman terbaik untuk Anda.
Jika Anda terus menggunakan situs ini, kami akan menganggap Anda menyukai website ini.